Tendensi Siaran Televisi
29/10/2016
Oleh: Anneke Justitia Bioty
(Staf Dept. Kastrat)
Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) telah mengadakan survei indeks kualitas program siaran televisi di 15
stasiun televisi. Survei tersebut mengambil sampel 45 program acara. Beberapa
di antaranya berita, variety show, talk show, infotaiment,
wisata, religi, komedi dan siaran anak-anak. Nilai keseluruhan berada dalam
kisaran 3,25 dengan minimal skor 4,0. Artinya, kualitas acara yang diproduksi
oleh televisi kita tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang penyiaran. Beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran
adalah mampu membentuk watak, identitas, dan jati diri bangsa yang bertakwa dan
beriman, menghormati keragaman, menghormati orang dan kelompok tertentu, tidak
memuat kekerasan, serta tidak bermuatan seksual, mistik, horor, dan
supranatural.
Televisi masih menjadi
sarana hiburan utama bagi masyarakat Indonesia. Seluruh lapisan masyarakat
mengikuti perkembangan zaman yang disiarkan oleh televisi nasional, entah baik
ataupun buruk. Meskipun begitu, televisi adalah industri dimana eksistensinya senantiasa
berhubungan dengan ukuran untung rugi. Seberapapun besarnya manfaat sebuah
program bagi kehidupan sosial jika tak membawa untung (iklan) maka acara tersebut bisa dipastikan segera hilang. Sebaliknya, seburuk
apapun acara itu alias tak membawa manfaat besar dalam kehidupan namun sejauh
memiliki rating yang tinggi maka akan tetap dipertahankan.
Ketika suatu acara di satu
televisi digandrungi, tiba-tiba televisi lain membuat program dan tema yang
hampir serupa. Sinetron yang hampir
sama, suguhan komedi yang hampir sama, variety
show yang hampir sama, dan acara musik yang hampir sama. Meski objek
orientasi bisnis mereka adalah “tergantung pasar” tapi televisi di
Indonesia dinilai telah mengalami proses gagap dalam menyikapi suatu hal. Tak
memiliki idealisme, karakter, dan jadi diri dalam menu sajian program acaranya.
Kita hidup di negeri
penuh citra yang menggantikan pengalaman nyata. Merasakan sebuah
peristiwa yang sejatinya tak nyata dan secara terus menerus. Segala peristiwa
yang terjadi adalah hasil dari sebuah simulasi. Lihatlah program yang
disuguhkan, acara musik nampak seragam dan berubah menjadi acara komedi. Kehidupan
pribadi artis diberitakan bertalu-talu tanpa membawa manfaat apapun bagi
publik. Acara religi yang lebih mengedepankan hal-hal tak nalar seperti santet
dan kutukan. Sinetron yang mempertontonkan kekerasan serta adegan visual yang
sensual.
Kita hidup dimana sinetron alay jadi konsumsi massa, gaya hidup
hedonisme yang digambarkan dalam sinetron dianggap sebuah kebiasaan dan
kenormalan. Perilaku “sok oke”, angkuh, dan merendahkan orang lain dianggap
wajar. Perilaku berurai air mata, merasa tersakiti namun tidak melakukan
apa-apa dianggap sebuah hal yang “mengharu-biru”. Kita hidup dimana tayangan
untuk anak-anak tak lagi mendapat tempat, acara kartun semakin terhimpit oleh
kecenderungan pasar terhadap tayangan alay.
Program berita sudah tak
lagi dapat dipandang idealis dan objektif. Sebagian dari mereka
berbondong-bondong membentuk opini publik, opini yang “diarahkan”. Mereka sudah
tak lagi netral karena telah melakukan keberpihakan pada pemilik media yang
berposisi sebagai ketua partai tertentu. Berita buruk tentang partai sebelah diberitakan
tiada habis, sementara partai pemilik televisi disanjung setiap saat. Begitulah
televisi yang kita nikmati saat ini, tidak ada yang benar-benar mengemban visi
dan misi yang semestinya. Tercemar dengan berbagai kepentingan dan ambisi penuh
pamrih. Media kemudian menjadi ajang kampanye dan membangun citra diri yang
personal. Publik dipaksa menikmati dan mengamininya.
Wajar kemudian jika terciptanya
gaya hidup yang tidak lagi sesuai dengan karakter bangsa, anarkisme, kekerasan, ketimpangan sosial, dan
lain-lain akibat dari tontonan yang selama ini kita lihat dan dengar di
televisi. Di sisi lain, kita harus bijak dalam memilah dan menyikapi acara yang
ada. Televisi bagaimanapun tak dapat dilepaskan dari unsur-unsur subjektivitas,
modal dan kepemilikan. Sejauh tuntutan pencapaian sebuah acara adalah untung
rugi materi maka modal-lah yang berkuasa. Maka kita akan senantiasa disuguhi
acara dan menu tayangan yang itu-itu saja. Sudah saatnya KPI menyikapi hal ini
dengan tegas. Ketegasan KPI idealnya tak hanya seputar sajian acara semata,
namun juga menyangkut posisi idealisme televisi yang ada.
Komentar
Posting Komentar